Minggu, 29 Agustus 2010

Para pejuang bagi keluarganya


Malam berangkat larut di Kali Besar Barat. Selasar di sebelah Toko Merah hingga dekat Diskotek Athena lengang. Di balik keremangan selasar tampak puluhan sepeda onthel kusam berdiri di samping puluhan pengemudinya yang terlelap di lantai. Sepeda dilengkapi payung, tas terpal plastik berisi pakaian, perlengkapan mandi, dan kunci-kunci baut seadanya.

Sebagian pengemudi ojek sepeda berselimut sarung, sedangkan lainnya membiarkan tubuhnya yang berkaus kutang dan celana kolor terbaring bebas di atas alas kardus. Di antara sepeda terbentang tali-tali rafia tempat bergantung handuk dan pakaian basah yang usai dicuci.

Bong San (50), Aming (46), Johari (50), dan Nasim (52), Rabu (25/8) malam itu, duduk di bangku panjang, tak jauh dari mereka. Keempatnya juga pengojek sepeda. Udin (45), pedagang nasi goreng gerobak, ikut berkumpul.

”Yang tidur di sini bisa sampai 60 pengojek. Tetapi, rata-rata setiap hari cuma 40 orang. Hari Minggu, yang tidur di sini tinggal 20 orang. Sebab, sebagian besar mereka kembali ke rumah,” kata Udin, yang sudah belasan tahun hidup di antara para pengojek sepeda itu.

Tak berapa lama, lima gelas kopi susu hangat dan dua bungkus rokok keretek tersaji, membuka percakapan tentang mereka, para pengojek sepeda.

Menurut keempat pengojek sepeda, sebagian besar mereka tinggal di Tangerang, Banten, sedangkan sebagian lainnya tinggal di Karawang, Jawa Barat. Bong San dan Aming tinggal di Bayur, Lebak Wangi, Sepatan, Tangerang. Nasim tinggal di Paku Haji, Tangerang, sedangkan Johari tinggal di Rengasdengklok, Karawang.

Pendapatan minim

Seperti halnya puluhan rekannya, umumnya mereka kembali ke rumah sepekan sekali. Mereka berangkat dari dan ke rumah dengan sepeda onthel-nya. ”Buat ngirit ongkos. Ongkos transpor dan ongkos tidur,” kata Johari.

”Dari rumah sampai Kali Besar kami butuh waktu sekitar tiga jam,” kata Johari.

”Kalau (maaf) alat vital kami sudah tidak terasa, itu berarti kami harus berhenti. Beristirahat sebentar agar peredaran darah kembali normal,” ujar Aming, yang sebelum mengojek sepeda menjadi buruh bangunan dan pekerja serabutan.

Saat ini, setiap hari mereka menyisihkan uang maksimal Rp 3.000. Kadang tak bisa, bahkan kadang sehari hanya makan sekali. ”Sekarang setiap hari kami hanya mampu mengumpulkan uang paling banyak Rp 20.000. Buat makan tiga kali, kopi dan rokok Rp 15.000. Buat mandi, buang air besar, dan mencuci pakaian Rp 3.000. Kakus umumnya di Gang Semalat, Jembatan Lima,” tutur Aming, ayah empat anak itu. Agar bisa menabung, ujar Udin, kadang mereka cuma makan sekali atau dua kali asal rokok dan kopi tidak ”putus”.

Hari sial datang bila ban sepeda mereka bocor. Itu artinya, mereka harus mengeluarkan biaya Rp 4.000. ”Apalagi, kalau bocornya di tengah perjalanan pulang dan sebaliknya. Kami terpaksa menunggu hari terang di mushala atau di warung. Uang yang kami sisihkan untuk keluarga bisa amblas,” kata Johari.

Menurut Johari, kualitas ban dalam sekarang sudah jauh merosot. ”Dulu, kondisi ban dalam dengan tujuh tambalan masih layak pakai. Bisa dipakai sampai lebih dari setahun. Sekarang, tiga bulan saja ban dalam sudah tiga kali tambal dan harus diganti. Harga ban dalam sekarang Rp 11.000 dan rata-rata harus sudah diganti setelah tiga bulan. Beraaat..., berat,” kata Johari.

Pengojek sepeda di wilayah Jakarta Barat seperti mereka umumnya membawa penumpang dari sekitar Kali Besar ke Mangga Dua, Teluk Gong, Jembatan Merah, Rajawali, Gajahmada, Glodok, hingga Tanjung Priok. Jika tak ada kasus harus ke bengkel sepeda, penghasilan mereka untuk keluarga sebulan cuma Rp 50.000.

Saat ini pelanggan mereka setiap hari tak lebih dari lima penumpang. Padahal, tahun 1980-an penumpang mereka setiap hari bisa mencapai 20 orang. ”Dulu semua masih murah, penumpang banyak. Ojek sepeda motor juga belum ada,” kata Bong San, yang sejak bujang sudah mengojek sepeda. Kini, ia sudah bercucu lima orang.

Penumpang mereka kebanyakan adalah gadis atau ibu-ibu, pedagang, dan pelajar dari kalangan kelas menengah ke bawah. Pada saat banjir, penumpang mereka bisa 20 orang. Dengan catatan, ”Siap-siap garpu sepeda rusak karena keropos oleh air hujan yang bercampur dengan air laut yang pasang,” kata Johari yang sudah memiliki dua cucu.

Tergusur

Sebagian pengojek sepeda di Kali Besar umumnya adalah ”korban pembangunan” bandar udara internasional. Mereka tergusur pada tahun 1973. Uang ganti rugi tanah dan rumah yang mereka terima menguap karena praktik calo dan teror.

Sebagian pengojek sepeda lainnya adalah petani yang lahannya susut karena meluasnya pusat perbelanjaan dan perumahan baru. ”Kalau sawah tidak kami lepas juga susah. Sebab, air untuk sawah sekarang sudah jauh berkurang. Pembagian airnya pun sudah main kuat-kuatan duit buat menyuap penjaga pintu air,” ujar Johari.

Bong San mengaku, keluarga orangtuanya adalah petani sirih yang memiliki lahan luas. Ia pun mendapat warisan tak sedikit dari sana. Tetapi, sejak tanah kebun dan rumahnya tergusur, Bong San tak memiliki pekerjaan lain selain pengojek sepeda.

”Awalnya para pengojek sepeda di sini memiliki sepeda ’bermerk’ dari Belanda dan Inggris,” tutur Bong San yang dibenarkan Johari. Sepeda ojek Bong San yang pertama bermerek Philips. Setelah itu, Hercules, Raleigh, dan Phonix. ”Terakhir, sepeda sabren alias onthel buatan bengkel lokal,” ujar Bong San sambil tertawa getir. Menurut mereka, onthel yang ideal untuk ngojek memang onthel buatan China bermerek Phonix. ”Soalnya, posisi rangka gapitnya lebih condong ke depan dan panjang ketimbang onthel Eropa.

Pascareformasi

Menurut Udin, selasar mulai menjadi ”losmen” puluhan pengojek sepeda sesudah reformasi 1998. ”Sebelumnya, selasar di deretan bangunan tua ini masih penuh pedagang kaki lima. Setelah banyak BUMN (badan usaha milik negara) dilikuidasi, gedung-gedung tua yang menjadi perkantoran BUMN kosong. Pedagang kaki lima pun menghilang. Selasar kosong danberbondong-bondonglah pengojek sepeda ke sini,” tutur Udin.

Antropolog UI, Iwan Tjitradjaya, yang dihubungi terpisah, Kamis (26/8), mengaku kagum dengan semangat hidup para pengojek sepeda ini. ”Masih ada saja orang-orang yang dengan segala keterbatasan aksesnya berani bekerja keras meski dengan pendapatan sebulan untuk keluarga, hitunglah cuma Rp 100.000 sebulan. Mereka mau ngotot mencari nafkah dengan jalan halal dan tidak mau menjadi pengemis. Dan, ini terjadi di Jakarta, di tengah hiruk-pikuk nafsu konsumtif dan kebanalan sosial,” kata Iwan.

Ia juga kagum terhadap kegotongroyongan di antara para tetangga di kampung halaman para pengojek sepeda. ”Bayangkan, mereka menitipkan keluarga mereka kepada para tetangga dengan beban ekonomi yang tidak ringan,” ujar Iwan.

Di lain sisi ia mengkritik, kondisi para pengojek sepeda yang nasibnya kian suram ini menunjukkan gagalnya pemerintah pascareformasi memperbaiki kesejahteraan kaum akar rumput. Menghilangkan wajah kemiskinan dengan sebatas mengusir para pengojek sepeda amat tidak bijaksana.

sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/28/05184779/losmen.di.tepian.kali.besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar