Rabu, 07 September 2011

Hanya Singgah

Ketika anda memulai sesuatu yang baru, itu memang sulit. Terlebih sulit lagi jika anda sudah terbiasa dengan sesuatu dan harus kehilangan sesuatu itu. Semua orang tidak ingin merasa kehilangan, apalagi tanpa sebab. Datang dan pergi, muncul dan menghilang, Memang itu semua bagian dari kehidupan yang hanya bisa dipresiksi, direncanakan tanpa bisa dipastikan. Hidup itu pilihan, jika anda memilih seseorang, anda harus bisa terima apapun dan bagaimanapun keadaannya, termasuk masa lalunya. Suatu hal yang menurut saya hanya spion tapi mungkin menurut orang lain merupakan rambu jalan. Saya melihat masa lalu sesekali, tapi sebagian dari mereka menjadikan itu patokan hidup. Itu salah menurut anda, tapi tidak menurut orang lain. Karena sekali lagi, hidup itu pilihan. Tiap orang berhak memililih dengan cara apa mereka hidup, walau terkadang mereka sendiri mengakui bahwa itu salah. Dan terkadang seseorang itu hanya datang, singgah dan pergi. Buatlah diri anda menjadi pangkalan, bukan hanya halte yang berhenti sementara.

Jumat, 19 Agustus 2011

berbicara dengan diri

kembali pada kehidupan nyata, kehidupan realita yang selama ini berjalan, mendampingi dan selalu ada. bekerja kuliah, dan sedikit bersenang-senang, jika memang itu kesenangan. tak ada yang spesial selain kita bertemu sesuatu yang baru yang membuat sedikit pengharapan. ya sedikit pengaharapan untuk merubah hidup yang terlalu datar dan membuat semacam semangat untuk melalui sisa nafas yang ada. tetapi itu tetap berisiko, tidak ada hal yang selalu positif, semua ada negatifnya tinggal bagaimana kita berani untuk mencoba. kata berani, memang harus mengambil suatu keputusan dan mengambil resiko yang ada. karena hidup itu adalah pilihan kawan, pilihan untuk maju, diam di tempat, atau malah kembali ke masa lalu. saya sendiri memilih yang pertama dengan segala macam resikonya, saya orang yang tidak pernah takut untuk mecoba, karena tidak akan pernah ada hasil tanpa berbuat, tidak akan ada peubahan tanpa keputusan, dan tidak ada keberhasilan tanpa kegagalan. kesulitan di depan terlalu sia-sia jika dipikirkan, jalani kesulitan, karena tiap kesulitian membuat kita semakin kuat, dan memang harus. dan ketika memang gagal, coba lagi, coba lagi, dan lagi.

Rabu, 29 Juni 2011

Resensi Novel Larung


Larung adalah novel  kedua dari ayu utami dan sekaligus lanjutan dari novel “Saman”. Dalam buku ini bertambah lagi satu tokoh utaman bernama Larung Lanang. Selain masih ada beberapa tokoh dari kisah sebelumnya seperti Saman, Laila, Yasmin, Cok, Sihar, dan Shakuntala.
Novel ini dibuka dengan menceritakan watak Larung, seorang pemuda berperawakan kecil, kurus yang mempunyai nenek yang berilmu tinggi. Nenek itu sangat kasar terhadap orang lain, tetapi sangat baik kepada Larung. Tetapi Larung berniat membunuhnya dengan alasan ingin menolong neneknya dari siksaan. Larung menemukan foto bertuliskan “Njani dan Soeprihatin, Photo Studio Like Kono Djogja, 1941”. Dari sinilah Larung meminta bantuan kepada sahabat neneknya itu untuk membantu membunuhnya.
 Di novel ini Ayu juga masih menceritakan tentang hubungan asmara antara Yasmin dan Saman, Laila dan Sihar. Yasmin adalah seorang pengacara dan aktivis kemanusiaan, dan Saman mantan pendeta yang pernah menjadi buron karena dituduh sebagai dalang beberapa kerusuhan di Sumatera. Karena sering terlibat berbagai kegiatan bersama akhirnya mereka menjadi akrab. Sedangkan Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta kepada Sihar, seorang pria beristri dan bekerja di perusahaan pertambangan.
Tetapi yang selalu membuat saya mengikuti novel dari Ayu adalah keberaniannya menentang berbagai hal yang dianggap tabu, mulai dari komunisme, sejarah, politik bahkan gamblang menceritakan berbagai ulah oknum “berambut cepak”. Disini juga diceritakan suasana politik masa itu (orde baru) hingga penyerangan markas PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro.
Novel ini amat segar dibaca karena menyuguhkan cerita erotis, memberontak, “menyentil” pemerintah tetapi diungkapkan dengan kalimat yang cerdas.

Selasa, 07 Desember 2010

Tahun Baru Islam hanya hari libur nasional

Hari ini tahun baru Islam 1 Muharram 1432 H. Tidak ada perayaan Istimewa di beberapa tempat, mungkin hanya segelintir orang saja yang merayakan Tahun Baru ini. Sebagian lagi hanya menganggap ini Hari Libur Nasional dan saatnya beristirahat atau mungkin weekend ke luar kota berdekatan dengan hari Senin dan Minggu.
Negeri ini mayoritas beragama Islam, tapi mengapa tahun baru ini serasa tidak ada hal apa-apa. Berbeda jika terjadi hal yang berpotensi atau telah menghina Islam, banyak ormas-ormas atau segelintir orang yang merasa sangat "tersakiti" dan maju di garda terdepan. Dengan dalih "jihad" merusak, mengganggu bahkan menyakiti orang lain, dan menganggap agama lain berbahaya bagi Islam. Apa hal ini yang terus-menerus terjadi? Kemana mereka saat ada acara Islam seperti ini? Salah satu tanggal penting sejarah islam.
Apa tahun baru Islam sangat kecil maknanya bagi mereka?
Astaghfirullah.. Semoga saya, kita dan semua pemuda-pemudi Islam dapat menjadi lebih baik kelak. Dapat bijak dalam menilai hal-hal seperti ini, dan dapat lebih menghargai agamanya.
Amin.

Minggu, 05 Desember 2010

sekedar penyemangat

Jangan mengkhawatirkan apa yang belum terjadi. Karena berusaha merupakan kewajiban, hasil merupakan tujuan dan keberhasilan adalah bonus.

Memang antisipasi itu perlu, menimalisir kegagalan juga perlu, tapi kita tidak akan tau hasil jika kita tidak mencoba.

Resiko yang terbesar adalah tidak mengambil resiko itu sama sekali.

Jadi tetaplah berusaha, jangan takut apapun hasilnya itu.


Keep trying guys!!

Minggu, 29 Agustus 2010

Pidato bung Karno Ganyang Malaysia


Kalau kita lapar itu biasa

Kalau kita malu itu juga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!

Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo…ayoo… kita… Ganjang…Ganjang… MalaysiaGanjang… MalaysiaBulatkan tekad Semangat kita badja

Peluru kita banjak!

Njawa kita banjak!

Bila perlu satoe-satoe!!!

Para pejuang bagi keluarganya


Malam berangkat larut di Kali Besar Barat. Selasar di sebelah Toko Merah hingga dekat Diskotek Athena lengang. Di balik keremangan selasar tampak puluhan sepeda onthel kusam berdiri di samping puluhan pengemudinya yang terlelap di lantai. Sepeda dilengkapi payung, tas terpal plastik berisi pakaian, perlengkapan mandi, dan kunci-kunci baut seadanya.

Sebagian pengemudi ojek sepeda berselimut sarung, sedangkan lainnya membiarkan tubuhnya yang berkaus kutang dan celana kolor terbaring bebas di atas alas kardus. Di antara sepeda terbentang tali-tali rafia tempat bergantung handuk dan pakaian basah yang usai dicuci.

Bong San (50), Aming (46), Johari (50), dan Nasim (52), Rabu (25/8) malam itu, duduk di bangku panjang, tak jauh dari mereka. Keempatnya juga pengojek sepeda. Udin (45), pedagang nasi goreng gerobak, ikut berkumpul.

”Yang tidur di sini bisa sampai 60 pengojek. Tetapi, rata-rata setiap hari cuma 40 orang. Hari Minggu, yang tidur di sini tinggal 20 orang. Sebab, sebagian besar mereka kembali ke rumah,” kata Udin, yang sudah belasan tahun hidup di antara para pengojek sepeda itu.

Tak berapa lama, lima gelas kopi susu hangat dan dua bungkus rokok keretek tersaji, membuka percakapan tentang mereka, para pengojek sepeda.

Menurut keempat pengojek sepeda, sebagian besar mereka tinggal di Tangerang, Banten, sedangkan sebagian lainnya tinggal di Karawang, Jawa Barat. Bong San dan Aming tinggal di Bayur, Lebak Wangi, Sepatan, Tangerang. Nasim tinggal di Paku Haji, Tangerang, sedangkan Johari tinggal di Rengasdengklok, Karawang.

Pendapatan minim

Seperti halnya puluhan rekannya, umumnya mereka kembali ke rumah sepekan sekali. Mereka berangkat dari dan ke rumah dengan sepeda onthel-nya. ”Buat ngirit ongkos. Ongkos transpor dan ongkos tidur,” kata Johari.

”Dari rumah sampai Kali Besar kami butuh waktu sekitar tiga jam,” kata Johari.

”Kalau (maaf) alat vital kami sudah tidak terasa, itu berarti kami harus berhenti. Beristirahat sebentar agar peredaran darah kembali normal,” ujar Aming, yang sebelum mengojek sepeda menjadi buruh bangunan dan pekerja serabutan.

Saat ini, setiap hari mereka menyisihkan uang maksimal Rp 3.000. Kadang tak bisa, bahkan kadang sehari hanya makan sekali. ”Sekarang setiap hari kami hanya mampu mengumpulkan uang paling banyak Rp 20.000. Buat makan tiga kali, kopi dan rokok Rp 15.000. Buat mandi, buang air besar, dan mencuci pakaian Rp 3.000. Kakus umumnya di Gang Semalat, Jembatan Lima,” tutur Aming, ayah empat anak itu. Agar bisa menabung, ujar Udin, kadang mereka cuma makan sekali atau dua kali asal rokok dan kopi tidak ”putus”.

Hari sial datang bila ban sepeda mereka bocor. Itu artinya, mereka harus mengeluarkan biaya Rp 4.000. ”Apalagi, kalau bocornya di tengah perjalanan pulang dan sebaliknya. Kami terpaksa menunggu hari terang di mushala atau di warung. Uang yang kami sisihkan untuk keluarga bisa amblas,” kata Johari.

Menurut Johari, kualitas ban dalam sekarang sudah jauh merosot. ”Dulu, kondisi ban dalam dengan tujuh tambalan masih layak pakai. Bisa dipakai sampai lebih dari setahun. Sekarang, tiga bulan saja ban dalam sudah tiga kali tambal dan harus diganti. Harga ban dalam sekarang Rp 11.000 dan rata-rata harus sudah diganti setelah tiga bulan. Beraaat..., berat,” kata Johari.

Pengojek sepeda di wilayah Jakarta Barat seperti mereka umumnya membawa penumpang dari sekitar Kali Besar ke Mangga Dua, Teluk Gong, Jembatan Merah, Rajawali, Gajahmada, Glodok, hingga Tanjung Priok. Jika tak ada kasus harus ke bengkel sepeda, penghasilan mereka untuk keluarga sebulan cuma Rp 50.000.

Saat ini pelanggan mereka setiap hari tak lebih dari lima penumpang. Padahal, tahun 1980-an penumpang mereka setiap hari bisa mencapai 20 orang. ”Dulu semua masih murah, penumpang banyak. Ojek sepeda motor juga belum ada,” kata Bong San, yang sejak bujang sudah mengojek sepeda. Kini, ia sudah bercucu lima orang.

Penumpang mereka kebanyakan adalah gadis atau ibu-ibu, pedagang, dan pelajar dari kalangan kelas menengah ke bawah. Pada saat banjir, penumpang mereka bisa 20 orang. Dengan catatan, ”Siap-siap garpu sepeda rusak karena keropos oleh air hujan yang bercampur dengan air laut yang pasang,” kata Johari yang sudah memiliki dua cucu.

Tergusur

Sebagian pengojek sepeda di Kali Besar umumnya adalah ”korban pembangunan” bandar udara internasional. Mereka tergusur pada tahun 1973. Uang ganti rugi tanah dan rumah yang mereka terima menguap karena praktik calo dan teror.

Sebagian pengojek sepeda lainnya adalah petani yang lahannya susut karena meluasnya pusat perbelanjaan dan perumahan baru. ”Kalau sawah tidak kami lepas juga susah. Sebab, air untuk sawah sekarang sudah jauh berkurang. Pembagian airnya pun sudah main kuat-kuatan duit buat menyuap penjaga pintu air,” ujar Johari.

Bong San mengaku, keluarga orangtuanya adalah petani sirih yang memiliki lahan luas. Ia pun mendapat warisan tak sedikit dari sana. Tetapi, sejak tanah kebun dan rumahnya tergusur, Bong San tak memiliki pekerjaan lain selain pengojek sepeda.

”Awalnya para pengojek sepeda di sini memiliki sepeda ’bermerk’ dari Belanda dan Inggris,” tutur Bong San yang dibenarkan Johari. Sepeda ojek Bong San yang pertama bermerek Philips. Setelah itu, Hercules, Raleigh, dan Phonix. ”Terakhir, sepeda sabren alias onthel buatan bengkel lokal,” ujar Bong San sambil tertawa getir. Menurut mereka, onthel yang ideal untuk ngojek memang onthel buatan China bermerek Phonix. ”Soalnya, posisi rangka gapitnya lebih condong ke depan dan panjang ketimbang onthel Eropa.

Pascareformasi

Menurut Udin, selasar mulai menjadi ”losmen” puluhan pengojek sepeda sesudah reformasi 1998. ”Sebelumnya, selasar di deretan bangunan tua ini masih penuh pedagang kaki lima. Setelah banyak BUMN (badan usaha milik negara) dilikuidasi, gedung-gedung tua yang menjadi perkantoran BUMN kosong. Pedagang kaki lima pun menghilang. Selasar kosong danberbondong-bondonglah pengojek sepeda ke sini,” tutur Udin.

Antropolog UI, Iwan Tjitradjaya, yang dihubungi terpisah, Kamis (26/8), mengaku kagum dengan semangat hidup para pengojek sepeda ini. ”Masih ada saja orang-orang yang dengan segala keterbatasan aksesnya berani bekerja keras meski dengan pendapatan sebulan untuk keluarga, hitunglah cuma Rp 100.000 sebulan. Mereka mau ngotot mencari nafkah dengan jalan halal dan tidak mau menjadi pengemis. Dan, ini terjadi di Jakarta, di tengah hiruk-pikuk nafsu konsumtif dan kebanalan sosial,” kata Iwan.

Ia juga kagum terhadap kegotongroyongan di antara para tetangga di kampung halaman para pengojek sepeda. ”Bayangkan, mereka menitipkan keluarga mereka kepada para tetangga dengan beban ekonomi yang tidak ringan,” ujar Iwan.

Di lain sisi ia mengkritik, kondisi para pengojek sepeda yang nasibnya kian suram ini menunjukkan gagalnya pemerintah pascareformasi memperbaiki kesejahteraan kaum akar rumput. Menghilangkan wajah kemiskinan dengan sebatas mengusir para pengojek sepeda amat tidak bijaksana.

sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/28/05184779/losmen.di.tepian.kali.besar